Friday, March 27, 2020

Pasar Mama Mama Papua sebagai Tujuan Destinasi Ekowisata Papua

Amole!

Pemandangan Mimika dari Atas Pesawat (Dokumen Pribadi)
Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya untuk tinggal di sebuah distrik bernama Mimika Baru di Kabupaten Mimika, Papua selama 10 tahun dari tahun 2007 hingga 2017. Sebagai pendatang, ada keinginan untuk berbagi cerita dengan teman-teman dan keluarga ditempat yang terasa asing bagi saya.

Maka sejak tahun 2008 saya mulai rajin menulis di blog yang diberi nama Timikaunique. Mengapa saya beri nama demikian karena yang terlintas dikepala saya kala itu adalah nama kota Timika, maka supaya terdengar enak saya tambahkan unique dibelakangnya. Awalnya saya suka berbagi cerita tentang hal-hal unik dari kota Timika, saya ingat kala itu saya menulis tentang Batik Papua. Tidak disangka-sangka Timikaunique menjadi pekerjaaan sampingan saya yaitu dengan mempromosikan budaya dan kerajinan khas Papua melalui Media Sosial / Toko Online Daring hingga sekarang.

Timikanique, sebuah Toko Online Oleh-Oleh Khas Papua yang mempromosikan kerajinan asli Papua (Dokumen Pribadi)
Tinggal di dekat pusat kota Mimika, Papua tidak serta merta menjauhkan saya dari keindahan alam Papua. Di kawasan Kuala Kencana, Papua, masih di dalam kawasan hutan lindung di bawah pengawasan PT. Freeport Indonesia, di sanalah saya bisa mengagumi hutan papua yang masih terjaga. Untuk masuk ke kawasan hutan lindung tidak sembarangan orang bisa masuk, juga ada larangan untuk menembak satwa liar yang ada di dalam hutan tersebut.

Kawasan Hutan Lindung di Kuala Kencana (Dokumen Pribadi)
Udara yang segar dan bersih, pohon-pohon yang menjulang hingga puluhan meteran menjadi pemandangan yang menyegarkan mata. Sayup-sayup terdengar suara burung dari kejauhan, kadang-kadang burung itu melintas di atas awan, mengepakkan sayapnya yang selebar tangan orang dewasa.

Menikmati pohon-pohon menjulang tinggi, udara yang segar, suara burung bernyanyian merupakan  suatu nikmat tersendiri (Dokumen Pribadi) 
Saat kami berhenti sejenak untuk sholat di Masjid Baiturahhim Kuala Kencana, kami memergoki kumbang tanduk berjalan-jalan di lantai masjid. Kumbang Tanduk ini sering jadi objek perhatian anak-anak kami yang masih kecil kala itu karena bentuknya yang aneh tapi lucu. Itulah kali pertama anak-anak saya berkenalan dengan serangga penghuni hutan. Dari sana pulalah keingintahuan anak saya tentang pengetahuan alam barangkali bermula.

Kawasan Hutan Lindung yang bebas sampah (Dokpri)
Dikawasan hutan lindung ini juga mengalir sungai yang airnya sejernih kristal. Dari situlah kekaguman saya muncul. Dalam hati saya selalu berpikir jika hutan papua dimana saja tidak hanya di kawasan PT. Freeport Indonesia jika dikelola dengan baik, kebersihan terjaga, tidak ada sampah berserakan tentu bisa menjadi tujuan wisata hijau / ekowisata yang menarik bagi siapa saja yang berkunjung.

Anak-anak saya antusias bermain disungai yang airnya sejernih kristal (Dokumen Pribadi)
Definisi Ekowisata dan apa bedanya dengan Pariwisata Konvensional

Ekowisata / ekoturisme secara sederhana diartikan sebagai wisata ekologi atau wisata Lingkungan. Meskipun begitu, tidak jarang, banyak dari kita yang kurang paham atau mengerti tentang Ekowisata.

Ekowisata atau ekoturisme adalah suatu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan

Ekowisata dimulai ketika dirasakan adanya dampak negatif yang dirasakan pada kegiatan konvensional. Dampak negatif ini dikemukaan dan dibuktikan oleh pakar lingkungan, tetapi juga para budayawan, tokoh masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata itu. Dampak terdiri dari kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal yang tidak terkontrol, berkurangnya peran masyarakat lokal dan persaingan bisnis yang mulai menentang lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat lokal.

Pada mulanya ekowisata dilakukan dengan cara membawa wisatawan ke objek wisata alam yang eksotis dengan cara ramah lingkungan. Proses kunjungan yang sebelumnya memanjakan wisatawan mulai dikurangi (sumber: Wikipedia)

Untuk menjadi tujuan wisata hijau (Ekowisata) ada berbagai sumber yang perlu perhatian besar  yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia di Papua.

Potensi Hutan Papua 

Sumber daya alam dalam hal ini Hutan Papua memiliki potensi yang luar biasa besar. Hutan Papua menyediakan pasokan oksigen untuk paru-paru dunia. Hutan Papua berada diperingkat tiga didunia dilihat dari luas kawasannya. Hutan juga merupakan rumah bagi 20.000 spesies tanaman, 125 spesies mamalia, 223 reptil, dan 602 spesies burung yang hidup di provinsi Papua Barat dan Papua. 

Orang Papua asli juga sangat bergantung pada hutan sebagai sumber makanan dan mata pencaharian. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk melindungi kelestarian Hutan demi kesejahteraan masyarakat Papua juga sebagai wilayah konservasi dunia (sumber Artikel Econusa  tanggal 14 Februari 2020 yang berjudul "Benteng Terakhir yang tidak bebas dari ancaman").

Uniknya Pasar Tradisional di Mimika, Papua

Jika ingin melihat kekayaan alam papua pergilah ke pasar tradisional, disanalah komoditas hutan dan laut sering diperdagangkan. Sebagai seorang Ibu Rumah Tangga, pasar merupakan tempat yang cukup sering saya kunjungi. Pasar Gorong-gorong, Pasar Lama, Pasar Sentral Timika adalah nama-nama pasar yang terkenal di Mimika Papua. Ketiga pasar ini menjadi langganan saya karena lokasinya berdekatan dengan rumah saya di Sempan, Mimika.

Salah satu umbi-umbian yang banyak dijual dipasar adalah petatas atau ubi jalar. Dijajakan dengan cara ditumpuk, satu tumpuk biasanya dijual dengan harga Rp. 10.000,00. Selain petatas, ada juga daun pakis. Daun pakis ini juga umum di sayur menjadi pendamping lauk.

Aneka Jenis Hasil Laut diijual dengan cara sederhana yaitu dengan menggelar alas plastik dipinggir jalan. Foto diambil di Pasar Gorong-gorong, Mimika, Papua (Dokpri)

Mama Papua berjualan petatas di Pasar Gorong-gorong, Timika, Papua (Dokpri)
Lalu ada lagi buah Matoa yang baunya mirip durian namun teksturnya mirip dengan kelengkeng. Buah Matoa merupakan buah yang berasal dari tumbuhan berakar tunggang yang berbentuk pohon. Tinggi pohonnya sekitar 20-40 meter dan diameter maksimum mencapai 100 centimeter. Pohon ini berbunga sekali dalam setahun yaitu Juli hingga oktober. Pohon ini bisa tumbuh baik di daerah yang kondisi tanahnya kering (tidak tergenang) dengan lapisan tanah yang tebal.  Cuaca yang tepat untuk pohon Matoa adalah cuaca dengan curah hujan tinggi dan Papua mempunyai curah hujan yang tinggi.  Pohon Matoa memiliki banyak manfaat sebagai antioksidan, meningkatkan daya tahan tubuh, menjaga kesehatan kulit, meningkatkan regenerasi sel-sel mati (sumber: www.hutanpapua.id)

Buah Matoa (sumber gambar: IG hutanpapua.id)
Karaka, Hasil Hutan Mangrove yang Kaya Gizi

Dipasar banyak dijual karaka atau disebut juga kepiting bakau. Karaka ini hidup di kawasan hutan bakau / mangrove dekat pelabuhan Pomako. Hutan Bakau merupakan hutan yang tumbuh di air payau (campuran air laut dan air tawar), dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.  Luas hutan Mangrove di Papua mencakup hampir 1/3 luas hutan Mangrove Indonesia.  Mangrove atau Mangi-Mangi menyediakan ekosistem bagi ikan, udang, kepiting, kerang, jika pohon bakau atau manggi-manggi banyak ditebang, maka kepiting dan kawan-kawannya juga tidak bisa hidup.

Pelabuhan Pomako dengan pemandangan Hutan Mangrove Pulau Karaka dari kejauhan, Mimika, Papua (Dokpri)

Saat ini Kabupaten Mimika dan Asmat mempunyai wilayah Mangrove paling luas se Papua yaitu hampir 1/3 dari luas total Hutan Mangrove.

Selain untuk konsumsi sendiri, Karaka ini sebagian juga dikirim ke luar Papua dengan menggunakan pesawat. Sehingga bisa dikatakan karaka adalah salah satu komoditas yang turut menggerakkan ekonomi di Mimika, Papua. Karaka sangat enak, dagingnya tebal sehingga menjadi incaran restoran-restoran untuk diolah menjadi makanan yang menggoyang lidah. Daging karaka mengandung lemak dalam jumlah yang rendah (1 gram / 100 gram), asam lemak jenuh rendah sekitar (0.1 gram / 100 gram) serta kaya akan Omega 3.

Karaka atau kepiting bakau dibungkus menggunakan daun bakau (Sumber gambar: www.backupbensehat.blogspot.com)

Karaka dijual per tumpuk bukan ditimbang (sumber Gambar: www.backupbensehat.blogspot.com)

Noken, Tas Anyaman Kulit Kayu Unik yang Hanya Ada di Papua

Kekhasan pasar-pasar di Papua yang dijamin tidak ditemui di daerah lain adalah pemandangan mama-mama Papua membuat noken dan menjualnya di Pasar! Noken adalah  produk kerajinan asli papua berupa tas anyaman yang bahan dasarnya dari serat kulit kayu dan pewarna alami. Pewarna alami ini dibuat dari akar-akar tanaman dan buah-buahan hutan.

Noken sangat erat kaitannya dengan hutan karena bahan-bahan dasar pembuat Noken diambil dari sana. Papua memiliki lebih dari 250 suku dan setiap suku mempunyai versi noken masing-masing. Noken tidak saja dibuat oleh mama Papua , namun juga para lelakinya. Bahan pembuatan noken pun tidak hanya kulit kayu namun juga rotan, rumput rawa dsb. Karena keunggulan dan keunikan Noken tersebut Noken masuk dalam daftar United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai salah satu "Warisan Budaya Tak Benda" atau intangible heritage dan setiap tanggal 4 Desember diperingati sebagai "Hari Noken Sedunia".

Noken yang dibuat dari serat kulit kayu ( Dokpri)

Penjual Noken di Pasar Lama Mimika, Papua (Dokpri)
Noken juga terbuat dari benang sintetis karena keterbatasan bahan dan kreatifitas Mama Papua ( Dokpri)
Sembari berjualan Mama Mama Papua ini memanfaatkan waktu luang dengan merajut Noken (Dokpri)
Noken merupakan simbol kedewasaan perempuan Papua. Seseorang dikatakan siap menikah jika sudah bisa membuat Noken (Dokpri)

Berburu Noken di pasar Sentral Mimika (Dokpri)

Noken juga dibuat dari tanaman Anggrek hutan. Difoto ini terjadi transaksi antara Pace dan Mama Papua. Pace membawa tanaman Anggrek Hutan untuk di jual ke Mama Papua sebagai bahan pembuat Noken (dokpri)

Sagu Papua, Enak dan Bergizi

Potensi hutan lain yang juga banyak dijual dipasar adalah sagu papua (Metroxylon Sp). Dipasar, sagu ini dijual dalam kondisi basah untuk diolah menjadi makanan tradisional khas papua seperti Papeda atau sagu lempeng.  Sagu adalah tanaman multi-fungsi karena dari daun hingga akarnya bisa dimanfaatkan. Sagu juga sangat penting peranannya dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim karena sifat pohon ini yang menyerap banyak air (hidrologis) dan mencegah banjir. Pohon Sagu ini menyukai daerah rawa-rawa , aliran sungai dan tanah subur lainnya, dilingkungan dataran rendah sampai pada ketinggian 700 m dpl.

Sagu dijual dalam kondisi masih basah dipasar Sentral, Mimika, Papua (Sumber gambar: www.timikaexpress.com)
Olahan sagu tradisional yaitu Sagu Lempeng, dimakan dengan cara dicelup ke dalam teh / kopi hangat lebih nikmat (sumber gambar: https://merahputih.com/post/read/sagu-lempeng-rotinya-masyarakat-papua-yang-tak-tergantikan)
Sagu kering produksi PT. ANJAP (Sorong , Papua Barat) sudah di export ke luar Papua. Sagu kering ini bisa diolah menjadi makanan modern seperti Bakso, Brownies, Kue Kering Sagu dsb (Sumber gambar: Instagram Bueno Nasio)
Pada wilayah yang sesuai pohon sagu dapat membentuk kebun / hutan sagu yang luas. Hingga saat ini Papua merupakan kawasan yang menyimpan cadangan hutan alam terbesar yang masih tersisa di Indonesia. Total luas hutan nya yang mencapai 40.803.132 hektar berkontribusi terhadap 32 persen total luas hutan di Indonesia. Papua mempunyai luas lahan sagu 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas sagu nasional. Dilihat dari kandungan gizinya, sagu mengandung karbohidrat lebih tinggi dari beras juga bebas gluten. Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif diantara tanaman-tanaman lain seperti beras, ubi, singkong dsb. Pohon sagu rata-rata menghasilkan 250 kilogram pati (tepung kering) per batang per tahun. Jika dalam satu hektar dapat ditanam 100 batang sagu, maka akan menghasilkan 250 ton / hektar / tahun. Bandingkan dengan singkong dan kentang misalnya yang menghasilkan 15 ton pati kering / hektar / tahun.

Kandungan Gizi Sagu kaya akan Karbohidrat dan Bebas Gluten (Sumber Gambar: Econusa)
Mengenal Rok Tauri / Rok Rumbai khas Papua, Baju Adat Khas Papua yang Terbuat dari Daun Sagu

Pohon Sagu mempunyai arti penting bagi masyarakat papua asli karena selain untuk mencukupi kebutuhan pangan, papan juga memenuhi kebutuhan sandang. Suku Asmat menjuluki Pohon Sagu sebagai pohon nasi akar. Untuk melindungi tubuh, orang Asmat membuat rok dan cawat dari pucuk sagu. Namanya Rok Tauri / Awer. Pucuk sagu itu daun muda yang masih kuncup. Pucuk ini bisa dijadikan Tauri karena tipis dan mudah diolah. Beda dengan daun sagu tua yang keras. Sulitnya, pucuk daun sagu selalu berada di puncak pohon daun sagu yang sangat tinggi. Orang Asmat harus memanjat pohon sagu sampai puncak.  Padahal pohon sagu itu berduri. Jika tidak hati-hati, duri sagu bisa melukai kulit mereka.

Rok Rumbai Papua buatan Suku Asmat (Dokpri)
Selain suku Asmat, suku Kamoro yang tinggal di pesisir pantai dekat pelabuhan Pomako juga membuat Rok Tauri / Awer. Jika beruntung, rok Rumbai Papua ini juga dijual di pasar Gorong-gorong Mimika dengan harga yang cukup terjangkau.

Rok Rumbai mempunyai potensi Ekonomi yang besar karena unik dan tidak ditemui di daerah lain. Saat ini hanya kabupaten Mimika-Papua saja yang membuat Rok Rumbai Cokelat seperti pada gambar (Dokpri)
Masih banyak komoditas hutan lain yang juga menarik dan diperjual belikan di pasar seperti sarang semut dan buah Merah. Buah merah dan Sarang semut merupakan herba Papua yang dibuat dari tanaman yang tumbuh di hutan Papua.  Silahkan baca tulisan saya yang berjudul Herba Ajaib dari Papua, Sarang Semut yang Ampung Mengatasi Kanker dan Tumor dalam 3 bulan! dan ini Dia Rahasia Stamina Orang Papua yang bisa Anda Tiru dan Praktekkan!apua.html.

Banyak sekali potensi Alam Papua yang bisa kita gali dan kembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat Papua. Apa yang saya ceritakan masih terbatas pada hutan Papua, belum lagi cakupan potensi kelautan. Mungkin tulisan ini tidak akan cukup untuk membahasnya satu persatu.

Pasar Tradisional Sebagai Tujuan Ekowisata, kenapa tidak?

Dari kisah perjalanan saya, saya berpendapat pasar tradisional bisa jadi tujuan Ekowisata Papua. Ketika kita berkunjung ke suatu obyek wisata bisanya orang mencari buah tangan dan pasar bisa jadi alternatif karena disana kita bisa bertemu dengan pengrajin langsung, melihat proses pembuatannya secara langsung sehingga ada unsur pendidikan juga.  Berbeda dengan ketika kita membeli souvenir melalui toko souvenir / oleh-oleh.

Saya terinspirasi dengan tulisan Econusa di Media Online Kumparan berjudul "Pasar Mama-Mama Papua, Terobosan Ekonomi Kerakyatan" terbit pada tanggal 22 Desember 2019. Dalam artikel tersebut pasar Mama-Mama Papua menjadi satu-satunya pasar tradisional yang dikhususkan bagi perempuan asli Papua.

Pasar yang dibangun dengan konsep modern, 4 lantai ini terletak di Jalan Percetakan, Jayapura. Pasar Mama Papua dibangun sebagai dukungan pemerintah untuk pemberdayaan perempuan Papua, khususnya bidang ekonomi kerakyatan. Lantai 1 ditempati oleh pedagang buah, sayur hingga ikan dan daging. Lantai 2 ditempati oleh pedagang yang menjual kerajinan tangan Papua seperti Noken atau cindermata lainnya.

Sedangkan lantai 3, dikhususkan untuk penjualan makanan khas Papua, termasuk Rumah Anak Harapan yang diperuntukkan untuk anak-anak pedagang. Dengan adanya ruangan yang diperuntukkan untuk bagi anak-anak para pedagang inilah yang membedakan Pasar Mama-Mama Papua dengan pasar lainnya yang ada selama ini.

Menurut saya ini terobosan yang perlu di tiru ditempat lain terutama di Kabupaten Mimika dimana menurut saya kondisi pasar tradisonal disini sebetulnya menyimpan potensi yang luar biasa namun tidak ada tempat khusus untuk memamerkan potensi alam dan budaya Papua dalam satu tempat yang layak. Saya sering menemukan pedagang dipasar menjual dagangan di lantai, kadang hanya dipinggir jalan, terkena hujan , panas ataupun debu. Belum lagi bau sampah karena kurang tepatnya pengelolaan limbah pasar.

Tempat Mama-Mama Papua berjualan Noken masih ala kadarnya dan kurang terkonsep dengan baik. Semoga tulisan saya ini bisa menjadi masukan untuk Pemda Mimika kedepannya.untuk membangun Pasar Mama Papua seperti di Jayapura.

Ancaman terhadap Hutan Papua

Hasil penelitian Yayasan Econusia melalui studi pustaka (desktop study) bahwa hutan di Tanah Papua tak bebas dari ancaman deforestasi pada 2001 hingga 2018.  Luas tutupan hutan di diPapua mencapai 41,3 juta hektar hingga 2018. Dari luasan tersebut , hutan lahan kering primer mendominasi dengan luasan 18,7 juta hektar (45,26%) disusul hutan rawa primer seluas 6,07 juta hektar (14,68%) dan hutan kering sekunder seluas 5,8 juta hektar (14,18%).
Luasan Hutan Primer di Provinsi Papua Barat 2012 - 2017. Pada grafik batang menunjukkan angka yang terus menurun. (sumber: Instagram Econusa_id)

Luasan Hutan Primer di Provinsi Papua 2012 - 2017 (Sumber: Instagram Econusa_id)

Dalam rentang kurang dari 20 tahun, laju deforestasi (penggundulan hutan) rata-rata sebesar 51.527,71 hektar per tahun. Deforestasi tahunan menanjak naik sejak 2001 dari 2,4 persen menjadi 6,5 persen pada tahun 2015, kemudian menurun sampai 2018. Berdasarkan penelitian Yayasan Econusa penyebab deforestasi hutan antara lain:
  1. Ancaman Wilayah dataran rencah dimanfaatkan industri berbasis lahan yang luas. Wilayah dataran rendah diselatan tanah papua menjadi target pengembangan perkebunan sawit. Di selatan adalah wilayah lempung jika ditanam sawit tidak bisa kembali menjadi hutan.
  2. Penyalahgunaan perizinan aktivitas illegal seperti pembalakan liar serta penambangan tanpa izin
Selain kerusakan hutan, laut Papua juga menghadapati tantangan antara lain banyaknya sampah dilautan atau Marine Debris. Marine Debris dikenal sebagai sampah laut atau limbah buatan manusia yang disengaja atau tidak sengaja dilepaskan di danau, laut, taupun perairan lainnya.  Bahkan sampah plastik ini bisa menjangkau hingga ke dasar samudra.

Jika dibiarkan terus tentu ini akan berpengaruh pada ekowisata ke depannya. Melihat fakta-fakta menyedihkan dilapangan ini mendorong lahirnya Yayasan Econusa.

Yuk mengenal Econusa Foundation (Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan).

Perkenalan saya dengan Yayasan Econusa dimulai di Instagram ketika saya sedang mencari informasi lebih lanjut tentang suatu topik. Banyak sekali pengetahuan baru yang saya dapat setelah membaca postingan di Instagram Econusa_id dan di situsnya www.econusa.id.  Yayasan Econusa yang berdiri tahun 21 Juli 2017 telah melaksanakan berbagai macam kegiatan antara lain aksi bersih laut dan membuat acara yang bernama Mace Papua yang merupakan singkatan dari Mari Cerita Papua. Di acara ini Yayasan Econusa ingin mengenalkan kepada masyarakat umum budaya Papua yang unik seperti Noken khas Papua.

Melalui sosial media secara aktif Yayasan Econusa melakukan kampanye pentingnya menjaga kelestarian hutan serta laut. Di tingkat pemerintah, Yayasan ini terus menggandeng pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang memihak pada pelestarian hutan, laut, masyarakat adat Papua.

Semangat Econusa menginspirasi banyak orang termasuk saya. Sebagai pebisnis online, saya juga terus mengedukasi konsumen saya untuk lebih mengenal budaya Papua dan pentingnya menjaga hutan, laut demi masa depan masyarakat Papua.

Silahkan tonton vidio dibawah ini untuk mengenal Visi dan Misi Econusa!


Kerinduan Saya Untuk Kembali ke Papua

Sejak meninggalkan Papua dua tahun lalu, saya sering rindu akan suasana kampung Timika, Papua.  Jika ditanya kembali tempat mana yang ingin saya kunjungi saya ingin kembali ke kota Mimika lagi. Dua hal yang ingin saya lakukan adalah melihat proses pembuatan rok rumbai dan Noken karena kesibukan saya sebagai Ibu Rumah Tangga dan mempunyai bisnis Online kecil-kecilan tidak memberi saya kesempatan untuk melakukan dua hal tersebut. Mungkin lagu yang berjudul "Tatinggal di Papua" ini bisa mewakili kerinduan saya pada Papua, yang sudah saya anggap seperti tanah kelahiran saya.


Tulisan ini merupakan bentuk partisipasi saya dalam Lomba Wonderful Papua Competition yang diselenggarakan atas kerjasama oleh Blogger Perempuan dan Yayasan Econusa. Semoga menginspirasi.


Salam,
Ibu Chandra Malini

Referensi:

1. Artikel  Econusa berjudul "Benteng Terakhir yang Tidak Bebas dari Ancaman" terbit 14 Februari 2020, Penulis Lutfy Mairizal Putra
2. Artikel Econusa berjudul "Kalau Banyak Mangi-Mangi, Banyak Kepiting" terbit 04 Februari 2020, Penulis Leo Wahyudi
3. Artike Econusia di Kumparan berjudul "Pasar Mama-Mama Papua, Terobosan Ekonomi Kerakyatan, terbit 23 Desember, Penulis Katharina
4. Wikipedia

Sumber Foto:

1. Instagram Econusa @econusa_id
2. Instagram Hutan Papua @hutanpapua_id
3. Instagram Bueno Nasio @bueno.nasio
4. www.backupbensehat.blogspot.com
5. www.timikaexpress.com
6. https://merahputih.com/post/read/sagu-lempeng-rotinya-masyarakat-papua-yang-tak-tergantikan
7. Dokumen Pribadi

Sumber Vidio:

1. Vidio Lagu " Tatinggal di Papua" Pacenogei, Produksi Alenia Production House https://www.youtube.com/watch?v=WDXLTSb7AoE
2.      About Econusa https://youtu.be/8G9B5hJIAqA


Timikaunique di bukalapak.com

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...